Pemerintah meluncurkan program Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes Merah Putih) dengan semangat besar: membangkitkan ekonomi desa melalui koperasi serba usaha. Dalam wacananya, koperasi ini akan mengelola tujuh unit bisnis sekaligus—dari sembako, pupuk, gas LPG, digitalisasi layanan, hingga penguatan UMKM dan pangan lokal. Tapi seberapa siap desa menanggung beban sebesar itu?
Dalam sejarah pembangunan desa, kita sudah terlalu sering melihat program ambisius gagal karena desain yang tergesa dan miskin partisipasi. Jangan sampai Kopdes Merah Putih mengulang nasib KUD (Koperasi Unit Desa) yang dulu digadang-gadang jadi tulang punggung ekonomi desa, tapi berujung jadi lembaga mati suri yang hanya ada di atas kertas
Berikut ini adalah 12 risiko utama yang harus diwaspadai agar semangat besar koperasi tidak berubah menjadi bumerang
1. Tumpang Tindih dengan BUMDesSebagian besar desa sudah memiliki BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) yang berfungsi mengelola potensi ekonomi lokal. Kehadiran Kopdes Merah Putih yang diatur langsung dari pusat bisa menimbulkan konflik peran dan fungsi. Apalagi jika jenis usaha yang digarap tumpang tindih, seperti toko sembako, pupuk, dan gas LPG
Meskipun pemerintah menyatakan bahwa Kopdes Merah Putih akan menjadi mitra BUMDes, banyak pihak mengkhawatirkan potensi tumpang tindih fungsi dan usaha antara keduanya. Hal ini dapat menyebabkan kebingungan peran di lapangan dan perebutan sumber daya manusia serta dana.
Alih-alih memperkuat desa, tumpang tindih kelembagaan justru bisa melemahkan keduanya
2. Friksi dengan Koperasi yang Sudah Ada
Di banyak desa, koperasi simpan pinjam atau koperasi “berdasarkan kebutuhan pendirian/anggota” sudah eksis dan berjalan cukup baik. Munculnya Kopdes Merah Putih dengan dukungan penuh dari pemerintah bisa memicu kecemburuan, apalagi jika mendapat prioritas dari perangkat desa.
Hal ini dapat menyebabkan konflik internal antarpengurus koperasi dan melemahnya semangat kolektif antarwarga. Jangan sampai koperasi justru jadi sumber perpecahan alih-alih pemersatu.
3. Manajemen Tidak Profesional
Meskipun diarahkan menjalankan tujuh jenis usaha sekaligus, tidak semua SDM desa siap mengelola unit bisnis secara profesional. Tanpa pelatihan memadai, Kopdes Merah Putih bisa tumbang karena salah kelola
Kementerian Koperasi mengakui bahwa rendahnya kualitas SDM menjadi tantangan utama dalam pengelolaan koperasi. Banyak pelanggaran terjadi karena pengelola koperasi tidak kredibel dan masih terbatas pengetahuannya.
Koperasi bukan tempat belajar sambil jalan, apalagi jika yang dipertaruhkan adalah uang dan kepercayaan publik.
4. Risiko Kredit Macet dari Bank Negara
Pemerintah menggandeng bank negara untuk membiayai Kopdes Merah Putih. Tapi tanpa manajemen keuangan dan bisnis yang baik, pinjaman bisa berubah jadi beban.
Koperasi yang gagal bukan hanya soal rugi, tapi soal kepercayaan yang ambruk.
5. Pendekatan Sentralistik
Koperasi semestinya lahir dari bawah—dari musyawarah warga dan kebutuhan riil. Tapi Kopdes Merah Putih lahir lewat instruksi pusat, dengan paket usaha yang diseragamkan.
Pendekatan top-down dalam pembentukan Kopdes Merah Putih bertentangan dengan prinsip-prinsip koperasi yang otonom dan mandiri. Hal ini dapat menyebabkan warga tidak merasa memiliki koperasi dan pengambilan keputusan dikuasai segelintir elite desa.